1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan bahan makanan yang mudah mengalami pembusukan segingga upayaa pengolahan dan pengawetan hasil perikanan mutlak diperlukan untuk menjaga kualitas ikan agar sampai ditangan konsumen dalam keadaan baik dan layak dikonsumsi sebagai makanan.Selama ini usaha memperendah suhu ikan dengan menerapkan teknik pendingina hasil perikanan sudah terbukti berhasil dalam mengawetkan ikan (Putra dan Eka, 2009). Menurut Moeljanto (1982) dalam Suwandi et al.,(2008), usaha untuk membuat ikan tetap selalu segar ataupun meningkatkan kesegarannya adalah tidak mungkin, walau begitu kesegaran ikan masih bisa dipertahankan. Melalui penanganan yang baik dan benar, penghambatan proses pembusukan daging ikan sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hingga saat ini penanganan yang dianggap baik adalah dengan penerapan rantai dingin, yaitu mengusahakan agar ikan tetap dingin (suhu rendah).Penanganan ynag dianggap paling ekonomis dan efektif adalah menggunakan es. Proses kerusakan ikan adalah berlangsung lebih cepat didaerah tropis karena suhu dan kelembaban harian yang tinggi. Proses kemunduran mutu tersebut maikin dipercepat dengan cara penangana atau penangkapan yang kurang baik, fasiltas sanitasi yang kurang memadai serta terbatasnya sarana distribusi dan pemasaran. Penanganan yang baik sejak ikan diangkat dari air sangat penting mengingat sifat ikan yang penuh gizi dan punya aW tinggi sehingga cepat busuk. Usaha untuk memanfatkan ikan sebaik-baiknya dilakukan denganberbagai cara. Salah satunya adalah penggunaan suhu rendah pada semua rantai produksi dan distribusi sehingga dapat mempertahankan kesegaran ikan (Widyastuti, 2010). Penanganan ikan basah harus dimulai segera setelah ikan diangakat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rata rendah dan memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan. Ikan hasil tangkap segera disemprot dengan air laut yang bersih sesaat tiba digladak, kemudian dipisahkan dan dikelompokkkan menurut jenis serta ukurannya.Perlakuan yang dikenekan harus dapat mencegah timbukanya kerusakan fisik (ikan tidak boleh diiinjak atau ditumpuk terlalu tinggi).Ikan harus dilindungi terhadap terik matahari.Untuk itu sebaiknya dipasang tenda atau atap yang melindungi tempat kerja dan wadah atau palka pengumpulan (DKP, 2003). Secara tradisional setelah nelayan memperoleh hasil tangkapan mereka lalu mencoba menjual sensiri ke konsumen setempat, melalui cara barter dan nilai uang tertentu. Kegiatan ini padda umumnya tidak terorganisir dengan baik an kurang efisien dan tidak produktif. Karena mutu ikan kurang terjaga sehingga harga cenderung menurun.TPI memmegang peranan penting dalam suatu pelabuhan perikanana dan perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar dapat tercapai manfaat secara optimal (Pramitasari, 2006).
1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari praktikum penanganan hasil perikanna addalah untuk mengetahui car penangana dan pengolahan hasil perikanan di tempat penanganan dan di TPI. Tujuan dari praktikum penanganan hasil perikanan adalah dapata mengetahui dan menjelaskan perbandingan berbagai macam cara penanganan dan pengolahan hasil perikanan di tempat penanganan dan TPI. 1.3 Waktu dan Tempat Praktikum Lapang Penanganan Hasil Perikanan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 20 November 2011 pukul 11.00-Selesai WIB di tempat pengolahan ikan daerah Mayangan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kabupaaten Probolinggo, Jawa Timur.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik ikan Ikan merupakan hasil perairaran yang banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelihannya yakni merupakan sumber proein hewan yang sangat potensial karena daging ikan banyak dijumpai senyawa yang sangat penting bagi manusia yaitu karbohidrat, lemak, protein, garam-garaman mineral dan vitamin (wulandari et al.,2005) Ikan kuniran termasuk golongan ikan domersal dengan kandungan lemak rendah dan memiliki cirri fisik sebagai berikut : panjang rata-rata 20-22 cm, memiliki ekor dan sebuah garis berarna kuning horizontal sepanjang tubuhnya serta memiliki sengut di bagian dagu yang digunakan untuk mencari makanan di dalam pasir (Subagio et al., 2004) Yang termasuk dalam ikan adalah binatang yang hidup dalam air, mempunyai sirip, dan bernafas dengan insang.Ikan yang hidup di perairan Indonesia banyak banyak jenisnya dari yang berukuran kecil samapi berukuran besar.Dari sekian banyak jenis ikan yang perlu diketahui sebanyak 45 jenis.Jenis-jenis ini termasuk dalam jenis ikan yang ekonomis penting dari perairan laut. Pada garis besarnya ikan dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu ikan bertulang rawan dan ikan bertulang keras (Murachman, 2006) Ikan memiliki efek yang baik bagi kesehatan.Dagingnya relative lunak, lebih cepat dan mudah diolah serta harganya murah. Akan tetapi dengan kandungan air dan protein yang tinggi dengan kondisi pH mendekati netral, ikan juga menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga ikan cepat menjadi rusak (Djumarti, 2004) Klasifikasi ikan kuniran dalam zipcodezoo (2001) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : chordate Subphylum :vertebrate Class : Actinopterygii Subclass : Actinopterygii Ordo : Percyformes Family : Mullidae (google image,2011) Genus : Upeneus Spesies :Upeneus moluccenus Sedangkan klasifikasi ikan buntal dalam zipcodezoo (2011), yakni : Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Upafilum: Vertebrata Kelas: Actinopterygii Upakelas: Neopterygii Infrakelas: Teleostei Ordo: Tetraodontiformes Famili: Tetraodontidae (google image,2011)
2.2 Macam-macam Penanganan Awal Menurut Okonta dan Ekelemu (2005) dalam Deureus et al, (2009) proses dan preversi ikan segar merupakan bagian penting karena ikan mempunyai kepekaan yang sangat tinggi terhadap pembusukan setelah panen dan nuntuk mencegah kehilangan-kehilangan ekonomi. Jika ikan tidak djual dalam keadaan segar maka cara pengawetan harus dilakukan. Ini meliputi pembekuan, pengasapan dan percawanan pemanasan (Sterilisasi, Pasteurisasi, dsb).Persiapan efisiensi ikan mutu unggul hasil investasi maksimum dan keuntungan yang bisa dicapai. Teknik penanganan ikan yang paling um8m digunakan untuk menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah. Selanjutnya, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusukan dan proses-proses biokimia yang erlangsung dapat tumbuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lamban (Gelman et al, 2011 dalam Munandar et al, 2009) Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan atau pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah dari pada suhu diluar ruangan. Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa dan bau (Adawiyah, 2007)
2.3 Fase- fase Kemunduran Mutu Ikan Menurut Nurjannah et al, (2004) fase-fase kemunduran mutu ikan adalah: · Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang mash lembut dan lentur serta adanya lapisan bening di keliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. · Tahap Rigormortis terjadi selama10 jam setelah ikan dimatikan dengan daging yang kaku. · Nilai 5 merupakan ambang batas kesegaran ikan. Cirri-ciri ikan yang memiliki nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan karena agak keruh. Insang menampakkan diskolorasi merah muda dan berlendir. Sayatan daging mulai pudar banyakkemerahan. Pada tulang belakang bau seperti bau asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang. Proses perubahan ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim, mikroorgnisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan ini akhirnya ,mengarah pada pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan adalah perubahan prerigor, rigor, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi.
2.4 Perubahan-Perubahan Ikan Setelah Mati 2.4.1 Aspek Fisik Menurut Adawiyah (2007), kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan kondisi fisik, yaitu: 1. Kenampakan luar : ikan yang masih segar mempunyai penampakan erah dan tidak suram. 2. Lenturan daging ikan: daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan akan segera kembali ke bentuknya semula apabila di lepaskan. 3. Keadaan mata: perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan nyata pada kecerahan matanya. 4. Keadaan daging : kualitas ikan ditentukan oleh daging nikan yang masih segar dan berdaging kenyal. Jika ditekan dengan telunjuk maka bekasnya akan segera kembali. 5. Keadaan insang : ikan yang masih segar berwarna merah. Secara fisikawi daging ikan mula-mula akan kehilangan kelenturannya. Kemudian akan mengerut dan menjadi kaku lalu melemas lagi. Pada fase rigor, daging akan tampak kering karena kehilangan daya menahan air. Pada fase terakhir, struktur daging ikan sudah mengalami kerusakan (Hadiwiyoto, 1993) Menurut Murniyati dan sunarman (2000), ikan yang elah mengalami pembusukan menampakkan cirri-ciri fisik yang dapat dikenali dari luar. Adapun yang membedakan antara iakn segar dan ikan busuk adalah pada ikan segar, mata Nampak bening, cerah, cembung dan menonjol. Sedangkan pada ikan busuk, berwarna pudar, berkerut, cekung dan tenggelam.
2.4.2 Biokimia Menurut Adawiyah (2007), setelah ikan ditangkap dan dalam air ikan tidak langsung menjadi mati perubahan biokimia yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Pada saat itu yang banyak mengalami perubahan adalah pembakaran ATP dan Kreatin fosfat yang akan menghasilkan tenaga. Aktivitas enzim pada tubuh hewan setelah mati untuk beberapa saat masih aktif meskipun dalam aspek yang berbeda dengan saat masih hidup.Saat suplai oksigen ke jaringan bereaksi, maka reaksi enzimatis berlangsung dalam kondisi anaerobic.Kondisi ini berlangsung searah dimana pH daging ikan mendekati normal (Sumardi, 2000).
2.4.3 Mikrobiologi Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis proses ini disebut proses isiling. Isiling sudah banyak digunakan untuk mengawetkan bahan-bahan alami secara mudah,sederhana dan aman serta akan memperbaiki sifat-sifat organoleptik bahan pangan (Suriawira 1995 dalam Rostini 2007) Setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara alamiah pada ikan khususnya bakteri aqkan tumbuh dengan cepat sekali sehingga ikan akan semakin cepat mengalami penurunan nmutu. Disamping ditemukan pada tubuh ikan sehingga penurunan mutu ikan akan dapat pula ditemukan pada tubuh ikan sehingga penurunan mutu ikan akan semakin cepat (Rahayu et al, 1999) Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan yaitu dari venolois menjadi pekat, bergetah, amis. Mata terbenam, pudar sinarnya serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan berbau busuk. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang terdapat pada kulit (Junianto, 2003)
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kemunduran Mutu Ikan Menurut Adawiyah (2007), ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik. Semakin lala ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik, maka akan menurunkan kesegaran mutu ikan tersebut. Factor-faktor intrinsik yaitu mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain: lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan atau yang lain sebagainya, penanganan ikan diatas kapal, kondisi kebersihan kapan penangkapan ikan, pemrosesan dan kondisi penyimpanan (Jica, 2008) Menurut Sumardi,(2000) beberapa faktor yang mempengaruhi laju perubahan yang dikelompokkan menjadi dua faktor , yaitu : a. Faktor intrinsik Spesies ikan, ukuran besar kecilnya, jenis kelamin dan tingkat kedewasaan. b. Factor Ekstrinsik Jenis alat tangkap, keadaan cuaca, letak geografi, cara handling.
2.6 Kerusakan Selama Penanganan Ikan 2.6.1 Luka dan Memar Memar yang dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul, tergantung atau tergencet.Ikan yang meronta sesat belum mati atau pedagang yang membanting ikan agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar.Semua upaya mematikan agar ikan mudah untuk disiangi. Bahan pangan yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik (Afrianto, 2000) Penyimpanan dalampeti-peti yang tepat adalah sebuah lapisan es kira-kira setebal 5 cm harus ditempatkan dibagian bawah peti, kontak langsung antara ikan dan peti harus dihindari. Peti tersebut tidak boleh di isi terlalu penuh karena dapat menyulitkan penyusunan ikan (Jica,2008)
2.6.2 Burst Belly Menurut sintef (2006), Belly Bursting terjadi selama pemberian pakan yang berlebih dan jika parah keadaannya dapat membuat ikan tak layak di konsumsi oleh manusia dalam beberapa waktu.Hambatan utama dari sector pelagis adalah deteroration dari bahan mentah yang menyebabkan belly bursting. Tubuh ikan banyak mengandung mikroba terutama di bagian permukaan kulit, insang dan bagian pencernaan ikan yang tertangkap dalam keaadaan perutnya kencang. Maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim pencernaan (Afrianto,2000)
2.6.3 Gaping Menurut Margeirsson et al., (2006) selama beberapa tahun terahir, empasi bertambah yang mana menyebabkan bertambahnya rasio pora, filet. Bagaimanapun penelitian tentang ikan cod dalam penangkapan maupun pengolahannya di temukan gaping yang rendah dalam ikan cod besar dan pada ikan cod kecil. Kekacauan otot yang terjadi setelah ikan mati berpengaruh terhadap teknologi karena proses tersebut mempengaruhi mutu filet. Idealnya, ikan difilet setelah proses kekakuan berhenti. Apabila ikan difilet dipisahkan dari tulang sebelum proses pengkakuan berlangsung otot akan berkontraksi secara bebas sehingga filet akan menendak pada proses pengkakuan berlangsung. Fenomena ini disebut perumpangan (gaping) (Jica,2008).
2.6.4 Melanosis Menurut Shields (2007), melanosit utama yang dialami konjungtiva adalah melanosis serius dan potensial yang berupa luka dan dapat makin parah dengan membentuk melanoma. Dalam penelitian dalam onkologi okuler, PAM dihitung dari 11% dari tumor konjungtival dan 21% dari luka melanosit. Pembentukan bintik – bintik atau melanosis adalah masalah yang ditemukan pada kebanyakan udang, lobster dan jenis – jenis crustasea lain yang diperdagangkan yang banyak menimbulkan dampak negative terhadap nilai komersial dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Jica,2008).
3. PEMBAHASAN
3.1 DATA HASIL Pada praktikum Penanganan Hasil Perikanan materi tentang Penanganan Ikan di dapatkan hasil sebagai berikut : Penanganan awal yang dilakukan diatas kapal yaitu setelah ikan ditangkap lalu diangkat kepermukaan dan kemudian dimasukkan ke dalam palka. Lalu diberi dengan es dimana dalam 3 sampai 4 hari membutuhkan 300 balok es dan 1000 liter solar. Setelah sampai di pelabuhan ikan yang berada di palka diambil dengan menggunakan jarring kemudian dilakukan sortasi menurut ukuran dan jenis ikan.Setelah itu dimasukkan kedalam keranjang kemudian disiram dengan air tawar atau air laut untuk membersihkan ikan dari kotoran. Adapun perbandingna antara jumlah ikan dan es pada saat penanganan ikan diatas kapal adalah 1 keranjang ikan diberi dengan 2 balok es. Dan selanjutnya jenis ikan yang ditangkap antara lain : ikan putih-putih, ikan benggol, ikan krisi, ikan mangla, ikan pari, ikan hiu, ikan langsar, ikan mata miring (ikan sebelah), ikan sonang, ikan marmoyo, ikan dorang, ikan galah yang dibuat untuk kerupuk, lobster, ikan kamboja dll. Jumlah ikan yang bila ditangkap dalam sekali penangkapan tergantung dari cuaca dan menurut perkataan nelayan tergantung dari rezeki. Dalam seminggu 7 ton jumlah es yang dibawa dalam sekali penangkapan yaitu untuk kapal yang berukuran kecil dengan jarak berlayarnya kurang dari 2 mil membawa 60 balok es dalam 3 hari. Sedangkan dalam seminggu membutuhkan 75 balok es.Dimana kapal kecil ini hanya untuk membawa / menampung ikan yang dibawa oleh kapal besar dari jarak 2 mil untuk didaratkan di pelabuhan.Sedangkan untuk kapal besar membutuhkan 300 balok es untuk sampai 4 hari dalam sekali menangkap ikan. Lama waktu yang diperlukan untuk mencapai TPI dan tempat penangkapan itu sekitar lebih dari 2 mil yang memerlukan waktu kurang lebih 6 jam. Adapun cara pembongkaran ikan setelah tiba di TPI adalah ikan yang sudah ditangkap dimasukkan kedalam palka dan diberi es lalu diangkat dan dipisahkan sesuai dengan ukuran, jenis dan kualitas ikan. Lalu dimasukkan ke dalam keranjang dan disimpan dengan air laut yang bertujuan untuk membersihkan ikan dari kotoran dan unuk menjaga kesegaran ikan setelah itu ditimbang. Kondisi ikan setelah tiba di TPI yaitu kesegaran ikan berbeda-beda. Ada ikan yang masih segar dan ada yang busuk dikarenakan ikan yang ditangkap pada hari pertama berlayar pasti akan disimpan dalam palka. Fasilitas yang tersedia di kapal antara lain : mesin untuk menghidupkan / menjalankan kapal, kemudi untuk mengatur arah jalannya kapal, jerigan yang berisi solar untuk bahan bakar mesin, baling-baling berputar maka kapal akan bergerak maju. Palka untuk tempat menyimpan ikan setelah ditangkap dan biasanya berisi es untuk mengawetkan ikan. Alat tangkap antara lain berupa jarring paying, pahang, jaring purseine, pukat tarik, jarring, dogol, cantrang, trammel net, bubu untuk alat tangkap rajungan. Selain itu juga ada jangkar yang fungsinya untuk menahan kapal saat berhenti atau mendarat ke pelabuhan agar kapal tidak terbawa oleh arus ombak. Setelah ikan tiba di TPI yang dilakukan yaitu penimbangan lalu negosiasi dengan pembeli lalu di jual.Penjualannya biasanya di DP dulu.Air yang digunakan untuk membersihkannya menggunakan air laut.Fasilitas yang ada pada TPI yaitu basket / keranjang timbangan, kereta dorong tetapi semua fasilitas tersebut tidak digunakan oleh nelayan.Untuk kapasitas TPI yaitu lebih dari 10 ton ikan. Sanitasi yang dilakukan pada TPI tersebut yaitu dengan menyiram sisa-sisa ikan / kotoran-kotoran dengan air laut kemudian air mengalir pada selokan yang ada di sekeliling TPI dan kembali terbuang ke laut. Untuk cara pendinginan di TPI belum dilakukan karena pada TPI tersebut ikan-ikan yang dihasilkan langsung didistribusikan di tengkulak. Biasanya pendinginannya oleh tengkulak menggunakan perbandingan antara es dengan ikan untuk 2 balok es = 70 kg ikan. Untuk ikan yang kecil tidak digunakan / dijual itu sebagai pakan ikan / ternak yang dikirim ke Muncar. Berikut data hasil score sheet terhadap ikan di TPI
No Nama ikan Kenampakan mata Insang Bau Konsistensi
1 Pari 5 6 9 7
2 Blusuh 8 7 7 8
3 Manglah 9 9 8 8
4 Putihan 9 8 7 9
5 Kuniran 9 7 7 7
3.2 CARA PENANGANAN HASIL PERIKANAN 3.2.1 DI DARAT Setibanya ikan didaratan, harus di perlakukan penanganan yang lebih cermat dan sarana yang lebih banyak, sehingga pada saat ikan di jual konsumen di pelabuhan dalam keadaan segar. Di pelabuhan ikan harus tersedia pabrik-pabrik pengepakan ikan-ikan basah (packing plants) yang dilengkapi dengan alat-alat pencucian, pembantaian, pengepakan, kamar pendingin suplai es yang cukup dan lainnya (Murachman, 2006). Proses penanganan ikan yang dilakukan di TPI Mayangan yaitu ikan yang dimasukkan dalam keranjang, yang sebelumnya telah disortasi menurut jenis, ukuran dan kualitas ikan. Lalu dicuci dengan air laut. Setelah itu ikan diberi es dengan perbandingan 1:3. Lalu setelah proses pelelangan ikan dimasukkan ke dalam coolbox atau palka yang telah diberi es, sebelum didistribusikan ke tempat pengolahan dan pabrik-pabrik serta daerah-daerah lain. Sanitasi yang ada di TPI juga kurang baik, karena ikan-ikan besar diseret dari kapal ke TPI tanpa adanya alas, sehingga ikan menjadi kotor.Selain itu ikan dicuci dengan air laut yang kebersihannya tidak terjaga.
3.2.2 DI LAUT Penanganan yang utama terhadap ikan setelah ditangkap adalah di dalam penanganan ikan di kapal atau di perahu dan di darat harus dapat dikerjakan secara cepat dan cermat pada suhu yang rendah .Pekerja harus bersih dan tidak mengidap suatu penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Ikan yang ditangkap dan setelah diangkat dari air segera dicuci bersih dari kotoran dan lumpur yang melekat, kemudian disortir menurut jenis dan ukurannya akhirnya ikan disimpan dalam palka atau wadah lain dan didinginkan. Ikan-ikan yang berharga mahal dipasaran sebaiknya diberi perhatian khusus dan prioritas utama dalam penanganannya. Pendinginan di kapal atau perahu dapat mempergunakan es atau cara lain seperti cool room atau langsung dibekukan (Murachman, 2006) Penanganan ikan di laut atau di atas kapal adalah saat pertama kali ikan ditangkap dan diangkat dari perairan, langsung disortasi sesuai jenis dan ukurannya lalu dicuci dan dimasukkan palka yang berisi es dengan tujuan untuk mengawetkan sampai ke TPI ikan masih segar. Setelah sampai di TPI dilakukan pembongkaran ikan dari palka dengan jarring yang ditarik dengan tangan lalu dimasukkan kekeranjang dan dicuci dengan air laut kemudian di bawa ke TPI dan ikan diberi es lagi.
3.3 COLD CHAIN SYSTEM Proses pendinginan ikan yang dilakukan di TPI maupun tempat pengolahan ikan adalah dengan menggunakan es balok. Perbandingan yang digunakan antara es balok dan ikan, pada umumnya 2 keranjang ikan dengan 1 balok es. Wadah pendinginan yang digunakan di TPI saat proses pelelangan adalah berupa keranjang bamboo maupun keranjang plastic. Sedangkan wadah yang digunakan saat distribusi menuju tempat pengolahan berupa coolbox atau palka dan diangkat dengan menggunakan mobil, pick up atau truk. Hal ini dilakukan agar ikan tidak cepat rusak ataupun membusuk, serta ikan bias cepat sampai di tempat pengolahan ikan yang selanjutnya akan diproses di tempat pengolahan. Pada proses pendinginan di TPI dan tempat pengolahan adalah menggunakan es balok. Adapun es batu tersebut di suplai dari pengepul es batu yang berada di sekitar pelabuhan maupun TPI. Es balok yang digunakan adalah es batu yang menggunakan air tawar, sedangkan pada tempat pengolahan, proses pendinginan relativ panjang. Karena ikan yang baru dating dari TPI sudah didinginkan.Sejak berada di TPI dan diangkut menuju tempat pengolahan.Maka ikan yang berada di tempat pengolahan tinggal dibersihkan dan siap diolah. Perlu di sadari bahwa untuk menjaga mutu hasil perikanan produksi nelayan dan petani ikan sejak dipanen sampai dengan konsumen ikan segar atau basah diperlukan penanganan dengan prinsip rantai dingin atau cold chain (Nidhi, 2009).
3.4 QUICK FREEZING DAN SLOW FREEZING Menurut Adawyah (2007), berdasarkan panjang pendeknya waktu thermal arrest pembekuan dibagi menjadi dua sebagai berikut : 1.Pembekuan cepat (quick freezing) yaitu pembekuan dengan thermal arrest time tidak lebih dari dua jam 2. Pembekuan lambat (slow freezing atau sharp freezing) yaitu bila thermal arrest time lebih dari dua jam. Membekukan ikan harus dilakukan dengan quick freezing. Gagasan awal menyebutkan bahwa pembekuan ikan secara cepat, yaitu dengan segera membawa ikan melewati zona kritis, tidak dikehendaki karena pendinginan tiba-tiba akan memisahkan dan merobek jaringan otot. Selain itu, dahulu disimpulkan bahwa pemuaian air pada saat pembekuan cenderung akan memecahkan dinding sel. Di sisi lain, pandangan yang cukup lama dipercayai adalah bahwa pembekuan lambat menghasilkan pembentukan Kristal es yang besar yang merusak dinding sel dan menyebabkan hilangnya cukup banyak cairan ketika produk dicairkan. Disimpulkan bahwa pembekuan yang lebih cepat menghasilkan Kristal es yang lebih sedikit yang menimbulkan kerusakan yang lebih sedikit pada dinding sel. Di inggris, pembekuan cepat berarti bahwa setiap bagian produk harus melewati suhu antara 00 dan 50 C dalam jangka waktu yang tidak melebihi 5-10 jam, lebih baik apa bila berlangsung selama 2 jam atau kurang, dan suhu bagian yang terpanas harus berada pada suhu -200 C atau lebih rendah pada akhir proses pembekuan (JICA, 2008).
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum Penanganan Hasil Perikanan ditempat pengolahahn ikan dan tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di probobolinggo didapat kesimpulan sebagi beriku : - Penanganan hasil perikanan adalah usaha untuk membuat ikan tetap segar atau mempertahankan kesegarannya. - Perubahan mutu ikan setelah penyimpanan ikan beku meliputi tiga aspek sebagi yaitu : Aspek fisik Aspek biokimia Aspek mikrobiologi - Fase – fase kemunduran ikan segar meliputi : Prerigor Rogormortis Postrigor Bakteriolis - Factor – factor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan segar yaitu : Ekstrinsik : alat tangkap, suhu, cuaca, penanganan. Intrinsic : ukuran ikan, jenis kelamin, kondisi fisik ikan, komposisi kimia ikan. - Cara memperpanjang mutu dan daya simpan ikan antara lain : Pendinginan Penggaraman Pembekuan - Hubungan pH dengan suhu ikan berbanding terbalik, semakin tinggi suhu tubuh ikan maka semakin turun pH tubuh ikan. - Hubungan pH dengan mutu ikan berbanding lurus, semakin tinggi pH ikan maka mutu ikan semakin buruk. - Didalam masalah pencucian ikan, diprobolinggo kemarin cara pencuciannya menggunakan air laut yang agak kotor, sebaiknya air yang digunakan itu harus air yang bersih, contohnya : air tawar. - Hasil Score sheet
NO Jenis Ikan Kenampakan Mata Insang Bau Konsistensi
1 Pari 5 6 9 7
2 Mblusuh 8 7 7 8
3 Mangla 9 9 8 8
4 Putihan 9 8 7 9
5 Kuniran 9 6 7 7
4.2 Saran Diharapkan pada seluruh praktikan agar supaya dalam melaksanakan praktikum penanganan hasil perikanan ini dlakukan dengan sungguh – sungguh dan dilihat proses dari cara penanganan ikan yang baik yang telah dilakukan oleh para nelayan dan pengelola dari hasil tangkapan ikan yang terletak di pesisir kota probolinggo.
DAFTAR PUSTAKA Adawyah , R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara : Jakarta.
Afrianto , E dan Liviawati E. 2003. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius: Yogyakarta.
Bahar, Burhan. 2006. Memilih dan Menangani Produk Perikanan. PT Gramedia Pustaka: Jakarta
Devies. 2009. Traditional Improved Fish ProcessingTechnologies in Bayaeka State Negeria. European Journal of Scientific Research
Djunarti , Susijahadi dan Y. Witono. 2004. Studi Pembuatan Ikan Pindang Siap Saji Berdaya Simpan Tingggi. Seminar Nasional dan Kongres PATPI.
DKP .2003. Pengolahan Ikan dan Hasil Laut.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
JICA. 2008. Bantuan Teknik untuk Industri Ikan dan Udang skala Kecil dan Menengah Indonesia. Japan International Cooperation Agency: Jakarta.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Swadaya: Yogyakarta
Margeirsson, Severnn; Alon, A. Neitsen, Gudmundur R. Johnsson, Sigurjen Arason. 2006. Seafood Research From fish to Fish. Netherland: Univ. Wageningen.
Muchtadi. 2002. Ilmu Pengetahuan Bahan. IPB: Bogor
Munandar, A ., Nurjanah dan Mola N. 2005. Kemunduran Mutu Ikan Nila Pada Penyimpan Suhu Rendah dengan Perlakuan Cara Kematian dan Penyiangan .Jurnal Teknologi Hasil Perikanan Indoneseia vol. XII Nomor. 2. 2009.
Murachman . 2006. Fish Handling. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang. Murniyati , A . S dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pebekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius: Yogyakarta.
Nurjanah, Setyaningsih, Sukarno dan M. Muldani. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin THP. Volume VII no I.
Pramitasari; Sulistyani Dyah. 2005. Modul untuk Pengembangan Mata Kuliah Manajemen Pelabuhan Perikanan. UNDIP: Semarang.
Putra dan Eka. 2009. Summary Desain Sistem Isolasi Ruang Penyimpanan es dan Ikan Untuk Kapal Ikan 30 6Y: ITS.
Shields, Jerry A. 2007.Primary Aquaried Melanosis of the Conjunctiva Trans an Optimal Soe vol 105.
Sinter. 2006. Belly bursting in Pelagic Fish. North Sea Center Hume Tank, Hirtshals
Subagio , A , Windrati , W.S., Fauzi., M., dan Y. Witono. 2004. Karakterisasi Protei Miofibril dan Ikan Kuniran (Upeneus Moluccensis) dan Ikan Mata Besar.
Sumardi . J. A. 2000. Ikan Segar Mutu dan Cara Pendinginan (review) Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Brawijay, Malang.
Widiastuti, Indah. 2010. Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas Tangkap pada perbedaan Preparasi dan Waktu Penyimpanan IPB: Bogor
Wulandari , S., Sayuh. S dan Asnaini. 2005. Analisi Mikrobiologi Produk Kaleng (sardines) Kemasan Dalam Limit Waktu Tertentu (expire). Jurenal Biogenesis vol. 2 hal : 30-35.
Zainul, Choliq dan Baheramsyah Alam. 2004. Simulasi Unjuk Kerja Sistem Refrigrasi Absorpsi Pada Kpal Perikanan FTK-ITS: Surabaya
Zakaria. 2008. Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan suhu chilling Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan : IPB
Diakses hari kamis tanggal 24 November 2011 puku 11.00 WIB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan bahan makanan yang mudah mengalami pembusukan segingga upayaa pengolahan dan pengawetan hasil perikanan mutlak diperlukan untuk menjaga kualitas ikan agar sampai ditangan konsumen dalam keadaan baik dan layak dikonsumsi sebagai makanan.Selama ini usaha memperendah suhu ikan dengan menerapkan teknik pendingina hasil perikanan sudah terbukti berhasil dalam mengawetkan ikan (Putra dan Eka, 2009).
Menurut Moeljanto (1982) dalam Suwandi et al.,(2008), usaha untuk membuat ikan tetap selalu segar ataupun meningkatkan kesegarannya adalah tidak mungkin, walau begitu kesegaran ikan masih bisa dipertahankan. Melalui penanganan yang baik dan benar, penghambatan proses pembusukan daging ikan sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hingga saat ini penanganan yang dianggap baik adalah dengan penerapan rantai dingin, yaitu mengusahakan agar ikan tetap dingin (suhu rendah).Penanganan ynag dianggap paling ekonomis dan efektif adalah menggunakan es.
Proses kerusakan ikan adalah berlangsung lebih cepat didaerah tropis karena suhu dan kelembaban harian yang tinggi. Proses kemunduran mutu tersebut maikin dipercepat dengan cara penangana atau penangkapan yang kurang baik, fasiltas sanitasi yang kurang memadai serta terbatasnya sarana distribusi dan pemasaran. Penanganan yang baik sejak ikan diangkat dari air sangat penting mengingat sifat ikan yang penuh gizi dan punya aW tinggi sehingga cepat busuk. Usaha untuk memanfatkan ikan sebaik-baiknya dilakukan denganberbagai cara. Salah satunya adalah penggunaan suhu rendah pada semua rantai produksi dan distribusi sehingga dapat mempertahankan kesegaran ikan (Widyastuti, 2010).
Penanganan ikan basah harus dimulai segera setelah ikan diangakat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rata rendah dan memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan. Ikan hasil tangkap segera disemprot dengan air laut yang bersih sesaat tiba digladak, kemudian dipisahkan dan dikelompokkkan menurut jenis serta ukurannya.Perlakuan yang dikenekan harus dapat mencegah timbukanya kerusakan fisik (ikan tidak boleh diiinjak atau ditumpuk terlalu tinggi).Ikan harus dilindungi terhadap terik matahari.Untuk itu sebaiknya dipasang tenda atau atap yang melindungi tempat kerja dan wadah atau palka pengumpulan (DKP, 2003).
Secara tradisional setelah nelayan memperoleh hasil tangkapan mereka lalu mencoba menjual sensiri ke konsumen setempat, melalui cara barter dan nilai uang tertentu. Kegiatan ini padda umumnya tidak terorganisir dengan baik an kurang efisien dan tidak produktif. Karena mutu ikan kurang terjaga sehingga harga cenderung menurun.TPI memmegang peranan penting dalam suatu pelabuhan perikanana dan perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar dapat tercapai manfaat secara optimal (Pramitasari, 2006).
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum penanganan hasil perikanna addalah untuk mengetahui car penangana dan pengolahan hasil perikanan di tempat penanganan dan di TPI.
Tujuan dari praktikum penanganan hasil perikanan adalah dapata mengetahui dan menjelaskan perbandingan berbagai macam cara penanganan dan pengolahan hasil perikanan di tempat penanganan dan TPI.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Lapang Penanganan Hasil Perikanan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 20 November 2011 pukul 11.00-Selesai WIB di tempat pengolahan ikan daerah Mayangan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kabupaaten Probolinggo, Jawa Timur.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik ikan
Ikan merupakan hasil perairaran yang banyak dimanfaatkan oleh manusia karena beberapa kelihannya yakni merupakan sumber proein hewan yang sangat potensial karena daging ikan banyak dijumpai senyawa yang sangat penting bagi manusia yaitu karbohidrat, lemak, protein, garam-garaman mineral dan vitamin (wulandari et al.,2005)
Ikan kuniran termasuk golongan ikan domersal dengan kandungan lemak rendah dan memiliki cirri fisik sebagai berikut : panjang rata-rata 20-22 cm, memiliki ekor dan sebuah garis berarna kuning horizontal sepanjang tubuhnya serta memiliki sengut di bagian dagu yang digunakan untuk mencari makanan di dalam pasir (Subagio et al., 2004)
Yang termasuk dalam ikan adalah binatang yang hidup dalam air, mempunyai sirip, dan bernafas dengan insang.Ikan yang hidup di perairan Indonesia banyak banyak jenisnya dari yang berukuran kecil samapi berukuran besar.Dari sekian banyak jenis ikan yang perlu diketahui sebanyak 45 jenis.Jenis-jenis ini termasuk dalam jenis ikan yang ekonomis penting dari perairan laut. Pada garis besarnya ikan dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu ikan bertulang rawan dan ikan bertulang keras (Murachman, 2006)
Ikan memiliki efek yang baik bagi kesehatan.Dagingnya relative lunak, lebih cepat dan mudah diolah serta harganya murah. Akan tetapi dengan kandungan air dan protein yang tinggi dengan kondisi pH mendekati netral, ikan juga menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk sehingga ikan cepat menjadi rusak (Djumarti, 2004)
Klasifikasi ikan kuniran dalam zipcodezoo (2001) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : chordate
Subphylum :vertebrate
Class : Actinopterygii
Subclass : Actinopterygii
Ordo : Percyformes
Family : Mullidae (google image,2011)
Genus : Upeneus
Spesies :Upeneus moluccenus
Sedangkan klasifikasi ikan buntal dalam zipcodezoo (2011), yakni :
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Upafilum: Vertebrata
Kelas: Actinopterygii
Upakelas: Neopterygii
Infrakelas: Teleostei
Ordo: Tetraodontiformes
Famili: Tetraodontidae (google image,2011)
2.2 Macam-macam Penanganan Awal
Menurut Okonta dan Ekelemu (2005) dalam Deureus et al, (2009) proses dan preversi ikan segar merupakan bagian penting karena ikan mempunyai kepekaan yang sangat tinggi terhadap pembusukan setelah panen dan nuntuk mencegah kehilangan-kehilangan ekonomi. Jika ikan tidak djual dalam keadaan segar maka cara pengawetan harus dilakukan. Ini meliputi pembekuan, pengasapan dan percawanan pemanasan (Sterilisasi, Pasteurisasi, dsb).Persiapan efisiensi ikan mutu unggul hasil investasi maksimum dan keuntungan yang bisa dicapai.
Teknik penanganan ikan yang paling um8m digunakan untuk menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah. Selanjutnya, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusukan dan proses-proses biokimia yang erlangsung dapat tumbuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lamban (Gelman et al, 2011 dalam Munandar et al, 2009)
Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan atau pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah dari pada suhu diluar ruangan. Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa dan bau (Adawiyah, 2007)
2.3 Fase- fase Kemunduran Mutu Ikan
Menurut Nurjannah et al, (2004) fase-fase kemunduran mutu ikan adalah:
· Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan dimatikan. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang mash lembut dan lentur serta adanya lapisan bening di keliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit.
· Tahap Rigormortis terjadi selama10 jam setelah ikan dimatikan dengan daging yang kaku.
· Nilai 5 merupakan ambang batas kesegaran ikan. Cirri-ciri ikan yang memiliki nilai 5 adalah sebagai berikut: bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan karena agak keruh. Insang menampakkan diskolorasi merah muda dan berlendir. Sayatan daging mulai pudar banyakkemerahan. Pada tulang belakang bau seperti bau asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang.
Proses perubahan ikan setelah mati terjadi karena aktivitas enzim, mikroorgnisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan ini akhirnya ,mengarah pada pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan adalah perubahan prerigor, rigor, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi.
2.4 Perubahan-Perubahan Ikan Setelah Mati
2.4.1 Aspek Fisik
Menurut Adawiyah (2007), kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan kondisi fisik, yaitu:
1. Kenampakan luar : ikan yang masih segar mempunyai penampakan erah dan tidak suram.
2. Lenturan daging ikan: daging ikan segar cukup lentur jika dibengkokkan dan akan segera kembali ke bentuknya semula apabila di lepaskan.
3. Keadaan mata: perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan nyata pada kecerahan matanya.
4. Keadaan daging : kualitas ikan ditentukan oleh daging nikan yang masih segar dan berdaging kenyal. Jika ditekan dengan telunjuk maka bekasnya akan segera kembali.
5. Keadaan insang : ikan yang masih segar berwarna merah.
Secara fisikawi daging ikan mula-mula akan kehilangan kelenturannya. Kemudian akan mengerut dan menjadi kaku lalu melemas lagi. Pada fase rigor, daging akan tampak kering karena kehilangan daya menahan air. Pada fase terakhir, struktur daging ikan sudah mengalami kerusakan (Hadiwiyoto, 1993)
Menurut Murniyati dan sunarman (2000), ikan yang elah mengalami pembusukan menampakkan cirri-ciri fisik yang dapat dikenali dari luar. Adapun yang membedakan antara iakn segar dan ikan busuk adalah pada ikan segar, mata Nampak bening, cerah, cembung dan menonjol. Sedangkan pada ikan busuk, berwarna pudar, berkerut, cekung dan tenggelam.
2.4.2 Biokimia
Menurut Adawiyah (2007), setelah ikan ditangkap dan dalam air ikan tidak langsung menjadi mati perubahan biokimia yang terjadi sebelum ikan menjadi kaku. Pada saat itu yang banyak mengalami perubahan adalah pembakaran ATP dan Kreatin fosfat yang akan menghasilkan tenaga.
Aktivitas enzim pada tubuh hewan setelah mati untuk beberapa saat masih aktif meskipun dalam aspek yang berbeda dengan saat masih hidup.Saat suplai oksigen ke jaringan bereaksi, maka reaksi enzimatis berlangsung dalam kondisi anaerobic.Kondisi ini berlangsung searah dimana pH daging ikan mendekati normal (Sumardi, 2000).
2.4.3 Mikrobiologi
Proses pengawetan ikan dapat dilakukan secara biologis proses ini disebut proses isiling. Isiling sudah banyak digunakan untuk mengawetkan bahan-bahan alami secara mudah,sederhana dan aman serta akan memperbaiki sifat-sifat organoleptik bahan pangan (Suriawira 1995 dalam Rostini 2007)
Setelah ikan mati, mikroba-mikroba yang terdapat secara alamiah pada ikan khususnya bakteri aqkan tumbuh dengan cepat sekali sehingga ikan akan semakin cepat mengalami penurunan nmutu. Disamping ditemukan pada tubuh ikan sehingga penurunan mutu ikan akan dapat pula ditemukan pada tubuh ikan sehingga penurunan mutu ikan akan semakin cepat (Rahayu et al, 1999)
Akibat serangan bakteri, ikan mengalami berbagai perubahan yaitu dari venolois menjadi pekat, bergetah, amis. Mata terbenam, pudar sinarnya serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan berbau busuk. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka yang terdapat pada kulit (Junianto, 2003)
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kemunduran Mutu Ikan
Menurut Adawiyah (2007), ikan segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik. Semakin lala ikan dibiarkan setelah ditangkap tanpa penanganan yang baik, maka akan menurunkan kesegaran mutu ikan tersebut.
Factor-faktor intrinsik yaitu mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain: lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan atau yang lain sebagainya, penanganan ikan diatas kapal, kondisi kebersihan kapan penangkapan ikan, pemrosesan dan kondisi penyimpanan (Jica, 2008)
Menurut Sumardi,(2000) beberapa faktor yang mempengaruhi laju perubahan yang dikelompokkan menjadi dua faktor , yaitu :
a. Faktor intrinsik
Spesies ikan, ukuran besar kecilnya, jenis kelamin dan tingkat kedewasaan.
b. Factor Ekstrinsik
Jenis alat tangkap, keadaan cuaca, letak geografi, cara handling.
2.6 Kerusakan Selama Penanganan Ikan
2.6.1 Luka dan Memar
Memar yang dialami oleh bahan pangan yang disebabkan karena dipukul, tergantung atau tergencet.Ikan yang meronta sesat belum mati atau pedagang yang membanting ikan agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar.Semua upaya mematikan agar ikan mudah untuk disiangi. Bahan pangan yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik (Afrianto, 2000)
Penyimpanan dalampeti-peti yang tepat adalah sebuah lapisan es kira-kira setebal 5 cm harus ditempatkan dibagian bawah peti, kontak langsung antara ikan dan peti harus dihindari. Peti tersebut tidak boleh di isi terlalu penuh karena dapat menyulitkan penyusunan ikan (Jica,2008)
2.6.2 Burst Belly
Menurut sintef (2006), Belly Bursting terjadi selama pemberian pakan yang berlebih dan jika parah keadaannya dapat membuat ikan tak layak di konsumsi oleh manusia dalam beberapa waktu.Hambatan utama dari sector pelagis adalah deteroration dari bahan mentah yang menyebabkan belly bursting.
Tubuh ikan banyak mengandung mikroba terutama di bagian permukaan kulit, insang dan bagian pencernaan ikan yang tertangkap dalam keaadaan perutnya kencang. Maka disaluran pencernaan banyak mengandung enzim pencernaan (Afrianto,2000)
2.6.3 Gaping
Menurut Margeirsson et al., (2006) selama beberapa tahun terahir, empasi bertambah yang mana menyebabkan bertambahnya rasio pora, filet. Bagaimanapun penelitian tentang ikan cod dalam penangkapan maupun pengolahannya di temukan gaping yang rendah dalam ikan cod besar dan pada ikan cod kecil.
Kekacauan otot yang terjadi setelah ikan mati berpengaruh terhadap teknologi karena proses tersebut mempengaruhi mutu filet. Idealnya, ikan difilet setelah proses kekakuan berhenti. Apabila ikan difilet dipisahkan dari tulang sebelum proses pengkakuan berlangsung otot akan berkontraksi secara bebas sehingga filet akan menendak pada proses pengkakuan berlangsung. Fenomena ini disebut perumpangan (gaping) (Jica,2008).
2.6.4 Melanosis
Menurut Shields (2007), melanosit utama yang dialami konjungtiva adalah melanosis serius dan potensial yang berupa luka dan dapat makin parah dengan membentuk melanoma. Dalam penelitian dalam onkologi okuler, PAM dihitung dari 11% dari tumor konjungtival dan 21% dari luka melanosit.
Pembentukan bintik – bintik atau melanosis adalah masalah yang ditemukan pada kebanyakan udang, lobster dan jenis – jenis crustasea lain yang diperdagangkan yang banyak menimbulkan dampak negative terhadap nilai komersial dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Jica,2008).
3. PEMBAHASAN
3.1 DATA HASIL
Pada praktikum Penanganan Hasil Perikanan materi tentang Penanganan Ikan di dapatkan hasil sebagai berikut :
Penanganan awal yang dilakukan diatas kapal yaitu setelah ikan ditangkap lalu diangkat kepermukaan dan kemudian dimasukkan ke dalam palka. Lalu diberi dengan es dimana dalam 3 sampai 4 hari membutuhkan 300 balok es dan 1000 liter solar. Setelah sampai di pelabuhan ikan yang berada di palka diambil dengan menggunakan jarring kemudian dilakukan sortasi menurut ukuran dan jenis ikan.Setelah itu dimasukkan kedalam keranjang kemudian disiram dengan air tawar atau air laut untuk membersihkan ikan dari kotoran.
Adapun perbandingna antara jumlah ikan dan es pada saat penanganan ikan diatas kapal adalah 1 keranjang ikan diberi dengan 2 balok es. Dan selanjutnya jenis ikan yang ditangkap antara lain : ikan putih-putih, ikan benggol, ikan krisi, ikan mangla, ikan pari, ikan hiu, ikan langsar, ikan mata miring (ikan sebelah), ikan sonang, ikan marmoyo, ikan dorang, ikan galah yang dibuat untuk kerupuk, lobster, ikan kamboja dll. Jumlah ikan yang bila ditangkap dalam sekali penangkapan tergantung dari cuaca dan menurut perkataan nelayan tergantung dari rezeki. Dalam seminggu 7 ton jumlah es yang dibawa dalam sekali penangkapan yaitu untuk kapal yang berukuran kecil dengan jarak berlayarnya kurang dari 2 mil membawa 60 balok es dalam 3 hari. Sedangkan dalam seminggu membutuhkan 75 balok es.Dimana kapal kecil ini hanya untuk membawa / menampung ikan yang dibawa oleh kapal besar dari jarak 2 mil untuk didaratkan di pelabuhan.Sedangkan untuk kapal besar membutuhkan 300 balok es untuk sampai 4 hari dalam sekali menangkap ikan.
Lama waktu yang diperlukan untuk mencapai TPI dan tempat penangkapan itu sekitar lebih dari 2 mil yang memerlukan waktu kurang lebih 6 jam. Adapun cara pembongkaran ikan setelah tiba di TPI adalah ikan yang sudah ditangkap dimasukkan kedalam palka dan diberi es lalu diangkat dan dipisahkan sesuai dengan ukuran, jenis dan kualitas ikan. Lalu dimasukkan ke dalam keranjang dan disimpan dengan air laut yang bertujuan untuk membersihkan ikan dari kotoran dan unuk menjaga kesegaran ikan setelah itu ditimbang.
Kondisi ikan setelah tiba di TPI yaitu kesegaran ikan berbeda-beda. Ada ikan yang masih segar dan ada yang busuk dikarenakan ikan yang ditangkap pada hari pertama berlayar pasti akan disimpan dalam palka.
Fasilitas yang tersedia di kapal antara lain : mesin untuk menghidupkan / menjalankan kapal, kemudi untuk mengatur arah jalannya kapal, jerigan yang berisi solar untuk bahan bakar mesin, baling-baling berputar maka kapal akan bergerak maju. Palka untuk tempat menyimpan ikan setelah ditangkap dan biasanya berisi es untuk mengawetkan ikan. Alat tangkap antara lain berupa jarring paying, pahang, jaring purseine, pukat tarik, jarring, dogol, cantrang, trammel net, bubu untuk alat tangkap rajungan. Selain itu juga ada jangkar yang fungsinya untuk menahan kapal saat berhenti atau mendarat ke pelabuhan agar kapal tidak terbawa oleh arus ombak.
Setelah ikan tiba di TPI yang dilakukan yaitu penimbangan lalu negosiasi dengan pembeli lalu di jual.Penjualannya biasanya di DP dulu.Air yang digunakan untuk membersihkannya menggunakan air laut.Fasilitas yang ada pada TPI yaitu basket / keranjang timbangan, kereta dorong tetapi semua fasilitas tersebut tidak digunakan oleh nelayan.Untuk kapasitas TPI yaitu lebih dari 10 ton ikan.
Sanitasi yang dilakukan pada TPI tersebut yaitu dengan menyiram sisa-sisa ikan / kotoran-kotoran dengan air laut kemudian air mengalir pada selokan yang ada di sekeliling TPI dan kembali terbuang ke laut.
Untuk cara pendinginan di TPI belum dilakukan karena pada TPI tersebut ikan-ikan yang dihasilkan langsung didistribusikan di tengkulak. Biasanya pendinginannya oleh tengkulak menggunakan perbandingan antara es dengan ikan untuk 2 balok es = 70 kg ikan. Untuk ikan yang kecil tidak digunakan / dijual itu sebagai pakan ikan / ternak yang dikirim ke Muncar.
Berikut data hasil score sheet terhadap ikan di TPI
No | Nama ikan | Kenampakan mata | Insang | Bau | Konsistensi |
1 | Pari | 5 | 6 | 9 | 7 |
2 | Blusuh | 8 | 7 | 7 | 8 |
3 | Manglah | 9 | 9 | 8 | 8 |
4 | Putihan | 9 | 8 | 7 | 9 |
5 | Kuniran | 9 | 7 | 7 | 7 |
3.2 CARA PENANGANAN HASIL PERIKANAN
3.2.1 DI DARAT
Setibanya ikan didaratan, harus di perlakukan penanganan yang lebih cermat dan sarana yang lebih banyak, sehingga pada saat ikan di jual konsumen di pelabuhan dalam keadaan segar. Di pelabuhan ikan harus tersedia pabrik-pabrik pengepakan ikan-ikan basah (packing plants) yang dilengkapi dengan alat-alat pencucian, pembantaian, pengepakan, kamar pendingin suplai es yang cukup dan lainnya (Murachman, 2006).
Proses penanganan ikan yang dilakukan di TPI Mayangan yaitu ikan yang dimasukkan dalam keranjang, yang sebelumnya telah disortasi menurut jenis, ukuran dan kualitas ikan. Lalu dicuci dengan air laut. Setelah itu ikan diberi es dengan perbandingan 1:3. Lalu setelah proses pelelangan ikan dimasukkan ke dalam coolbox atau palka yang telah diberi es, sebelum didistribusikan ke tempat pengolahan dan pabrik-pabrik serta daerah-daerah lain.
Sanitasi yang ada di TPI juga kurang baik, karena ikan-ikan besar diseret dari kapal ke TPI tanpa adanya alas, sehingga ikan menjadi kotor.Selain itu ikan dicuci dengan air laut yang kebersihannya tidak terjaga.
3.2.2 DI LAUT
Penanganan yang utama terhadap ikan setelah ditangkap adalah di dalam penanganan ikan di kapal atau di perahu dan di darat harus dapat dikerjakan secara cepat dan cermat pada suhu yang rendah .Pekerja harus bersih dan tidak mengidap suatu penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Ikan yang ditangkap dan setelah diangkat dari air segera dicuci bersih dari kotoran dan lumpur yang melekat, kemudian disortir menurut jenis dan ukurannya akhirnya ikan disimpan dalam palka atau wadah lain dan didinginkan. Ikan-ikan yang berharga mahal dipasaran sebaiknya diberi perhatian khusus dan prioritas utama dalam penanganannya. Pendinginan di kapal atau perahu dapat mempergunakan es atau cara lain seperti cool room atau langsung dibekukan (Murachman, 2006)
Penanganan ikan di laut atau di atas kapal adalah saat pertama kali ikan ditangkap dan diangkat dari perairan, langsung disortasi sesuai jenis dan ukurannya lalu dicuci dan dimasukkan palka yang berisi es dengan tujuan untuk mengawetkan sampai ke TPI ikan masih segar. Setelah sampai di TPI dilakukan pembongkaran ikan dari palka dengan jarring yang ditarik dengan tangan lalu dimasukkan kekeranjang dan dicuci dengan air laut kemudian di bawa ke TPI dan ikan diberi es lagi.
3.3 COLD CHAIN SYSTEM
Proses pendinginan ikan yang dilakukan di TPI maupun tempat pengolahan ikan adalah dengan menggunakan es balok. Perbandingan yang digunakan antara es balok dan ikan, pada umumnya 2 keranjang ikan dengan 1 balok es. Wadah pendinginan yang digunakan di TPI saat proses pelelangan adalah berupa keranjang bamboo maupun keranjang plastic. Sedangkan wadah yang digunakan saat distribusi menuju tempat pengolahan berupa coolbox atau palka dan diangkat dengan menggunakan mobil, pick up atau truk. Hal ini dilakukan agar ikan tidak cepat rusak ataupun membusuk, serta ikan bias cepat sampai di tempat pengolahan ikan yang selanjutnya akan diproses di tempat pengolahan.
Pada proses pendinginan di TPI dan tempat pengolahan adalah menggunakan es balok. Adapun es batu tersebut di suplai dari pengepul es batu yang berada di sekitar pelabuhan maupun TPI. Es balok yang digunakan adalah es batu yang menggunakan air tawar, sedangkan pada tempat pengolahan, proses pendinginan relativ panjang. Karena ikan yang baru dating dari TPI sudah didinginkan.Sejak berada di TPI dan diangkut menuju tempat pengolahan.Maka ikan yang berada di tempat pengolahan tinggal dibersihkan dan siap diolah.
Perlu di sadari bahwa untuk menjaga mutu hasil perikanan produksi nelayan dan petani ikan sejak dipanen sampai dengan konsumen ikan segar atau basah diperlukan penanganan dengan prinsip rantai dingin atau cold chain (Nidhi, 2009).
3.4 QUICK FREEZING DAN SLOW FREEZING
Menurut Adawyah (2007), berdasarkan panjang pendeknya waktu thermal arrest pembekuan dibagi menjadi dua sebagai berikut :
1.Pembekuan cepat (quick freezing) yaitu pembekuan dengan thermal arrest time tidak lebih dari dua jam
2. Pembekuan lambat (slow freezing atau sharp freezing) yaitu bila thermal arrest time lebih dari dua jam. Membekukan ikan harus dilakukan dengan quick freezing.
Gagasan awal menyebutkan bahwa pembekuan ikan secara cepat, yaitu dengan segera membawa ikan melewati zona kritis, tidak dikehendaki karena pendinginan tiba-tiba akan memisahkan dan merobek jaringan otot. Selain itu, dahulu disimpulkan bahwa pemuaian air pada saat pembekuan cenderung akan memecahkan dinding sel. Di sisi lain, pandangan yang cukup lama dipercayai adalah bahwa pembekuan lambat menghasilkan pembentukan Kristal es yang besar yang merusak dinding sel dan menyebabkan hilangnya cukup banyak cairan ketika produk dicairkan. Disimpulkan bahwa pembekuan yang lebih cepat menghasilkan Kristal es yang lebih sedikit yang menimbulkan kerusakan yang lebih sedikit pada dinding sel. Di inggris, pembekuan cepat berarti bahwa setiap bagian produk harus melewati suhu antara 00 dan 50 C dalam jangka waktu yang tidak melebihi 5-10 jam, lebih baik apa bila berlangsung selama 2 jam atau kurang, dan suhu bagian yang terpanas harus berada pada suhu -200 C atau lebih rendah pada akhir proses pembekuan (JICA, 2008).
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum Penanganan Hasil Perikanan ditempat pengolahahn ikan dan tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di probobolinggo didapat kesimpulan sebagi beriku :
- Penanganan hasil perikanan adalah usaha untuk membuat ikan tetap segar atau mempertahankan kesegarannya.
- Perubahan mutu ikan setelah penyimpanan ikan beku meliputi tiga aspek sebagi yaitu :
Aspek fisik
Aspek biokimia
Aspek mikrobiologi
- Fase – fase kemunduran ikan segar meliputi :
Prerigor
Rogormortis
Postrigor
Bakteriolis
- Factor – factor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan segar yaitu :
Ekstrinsik : alat tangkap, suhu, cuaca, penanganan.
Intrinsic : ukuran ikan, jenis kelamin, kondisi fisik ikan, komposisi kimia ikan.
- Cara memperpanjang mutu dan daya simpan ikan antara lain :
Pendinginan
Penggaraman
Pembekuan
- Hubungan pH dengan suhu ikan berbanding terbalik, semakin tinggi suhu tubuh ikan maka semakin turun pH tubuh ikan.
- Hubungan pH dengan mutu ikan berbanding lurus, semakin tinggi pH ikan maka mutu ikan semakin buruk.
- Didalam masalah pencucian ikan, diprobolinggo kemarin cara pencuciannya menggunakan air laut yang agak kotor, sebaiknya air yang digunakan itu harus air yang bersih, contohnya : air tawar.
- Hasil Score sheet
NO | Jenis Ikan | Kenampakan Mata | Insang | Bau | Konsistensi |
1 | Pari | 5 | 6 | 9 | 7 |
2 | Mblusuh | 8 | 7 | 7 | 8 |
3 | Mangla | 9 | 9 | 8 | 8 |
4 | Putihan | 9 | 8 | 7 | 9 |
5 | Kuniran | 9 | 6 | 7 | 7 |
4.2 Saran
Diharapkan pada seluruh praktikan agar supaya dalam melaksanakan praktikum penanganan hasil perikanan ini dlakukan dengan sungguh – sungguh dan dilihat proses dari cara penanganan ikan yang baik yang telah dilakukan oleh para nelayan dan pengelola dari hasil tangkapan ikan yang terletak di pesisir kota probolinggo.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah , R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara : Jakarta.
Afrianto , E dan Liviawati E. 2003. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius: Yogyakarta.
Bahar, Burhan. 2006. Memilih dan Menangani Produk Perikanan. PT Gramedia Pustaka: Jakarta
Devies. 2009. Traditional Improved Fish ProcessingTechnologies in Bayaeka State Negeria. European Journal of Scientific Research
Djunarti , Susijahadi dan Y. Witono. 2004. Studi Pembuatan Ikan Pindang Siap Saji Berdaya Simpan Tingggi. Seminar Nasional dan Kongres PATPI.
DKP .2003. Pengolahan Ikan dan Hasil Laut.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
JICA. 2008. Bantuan Teknik untuk Industri Ikan dan Udang skala Kecil dan Menengah Indonesia. Japan International Cooperation Agency: Jakarta.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Swadaya: Yogyakarta
Margeirsson, Severnn; Alon, A. Neitsen, Gudmundur R. Johnsson, Sigurjen Arason. 2006. Seafood Research From fish to Fish. Netherland: Univ. Wageningen.
Muchtadi. 2002. Ilmu Pengetahuan Bahan. IPB: Bogor
Munandar, A ., Nurjanah dan Mola N. 2005. Kemunduran Mutu Ikan Nila Pada Penyimpan Suhu Rendah dengan Perlakuan Cara Kematian dan Penyiangan .Jurnal Teknologi Hasil Perikanan Indoneseia vol. XII Nomor. 2. 2009.
Murachman . 2006. Fish Handling. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang.
Murniyati , A . S dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pebekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius: Yogyakarta.
Nurjanah, Setyaningsih, Sukarno dan M. Muldani. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin THP. Volume VII no I.
Pramitasari; Sulistyani Dyah. 2005. Modul untuk Pengembangan Mata Kuliah Manajemen Pelabuhan Perikanan. UNDIP: Semarang.
Putra dan Eka. 2009. Summary Desain Sistem Isolasi Ruang Penyimpanan es dan Ikan Untuk Kapal Ikan 30 6Y: ITS.
Shields, Jerry A. 2007.Primary Aquaried Melanosis of the Conjunctiva Trans an Optimal Soe vol 105.
Sinter. 2006. Belly bursting in Pelagic Fish. North Sea Center Hume Tank, Hirtshals
Subagio , A , Windrati , W.S., Fauzi., M., dan Y. Witono. 2004. Karakterisasi Protei Miofibril dan Ikan Kuniran (Upeneus Moluccensis) dan Ikan Mata Besar.
Sumardi . J. A. 2000. Ikan Segar Mutu dan Cara Pendinginan (review) Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Brawijay, Malang.
Widiastuti, Indah. 2010. Analisis Mutu Ikan Tuna Selama Lepas Tangkap pada perbedaan Preparasi dan Waktu Penyimpanan IPB: Bogor
Wulandari , S., Sayuh. S dan Asnaini. 2005. Analisi Mikrobiologi Produk Kaleng (sardines) Kemasan Dalam Limit Waktu Tertentu (expire). Jurenal Biogenesis vol. 2 hal : 30-35.
Zainul, Choliq dan Baheramsyah Alam. 2004. Simulasi Unjuk Kerja Sistem Refrigrasi Absorpsi Pada Kpal Perikanan FTK-ITS: Surabaya
Zakaria. 2008. Kemunduran Mutu Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy) Pasca Panen pada Penyimpanan suhu chilling Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan : IPB
Diakses hari kamis tanggal 24 November 2011 puku 11.00 WIB